Indy : akhir & awal (2)

Setahun yang lalu...

"Ok. Pelajaran untuk hari ini sampai disini. Tugas untuk minggu depan, buat draft desain flyer. Tema dan layout bebas. Kemudian..." Bu Shinta, guru TIK kami, menyapu penglihatannya ke penjuru lab, "Anindya dan Reza bisa tinggal sebentar"
Setelah membersihkan semua 'atribut tulis'ku dari meja komputer yang kugunakan, aku menyusul Reza ke meja Bu Shinta.

"Ya, Bu?"
"Kalian sudah dengar tentang OSN kan? Kalian ikut?"
"Saya ikut Matematika, Bu" jawab Reza
"Begitu ya... Kalau kamu berubah pikiran, akan ada seleksi peserta yang akan mewakili sekolah bidang TIK minggu depan," kata Bu Shinta dengan tatapan antusias, "Kalau Anindya bagaimana?"
"Maaf, bu. Kalau boleh saya permisi dulu" pinta Reza.
"Oh... Ya... Tentu. Silahkan"
Reza pun meninggalkan lab.
"Saya belum mendaftar bidang manapun, Bu," jawabku.
"Kalau mau ikut, ada bahan yang bisa dipelajari yang ibu tinggalkan di fotokopi seberang sekolah. Silahkan di-copy. Bilang saja bahan olimpiade TIK Bu Shinta"
Kata olimpiade terdengar begitu keren.
"Ibu melihatmu sangat semangat di kelas TIK, jadi ibu berharap kamu juga bisa semangat buat mewakili sekolah. Tiap sekolah dibatasi max 5 orang, jadi akan diadakan seleksi minggu depan." sambung bu Shinta. Tak lupa menyinggungkan senyum ramahnya.

***

Itu pertama kalinya aku tertarik pada semacam perlombaan/kompetisi. Karena aku sadar kemampuanku standar, sekolah biasanya lebih prefer mengajukan wakil dari kelas unggul. Aku tidak jago olahraga, keahlian pun tak punya. Aku hanya satu dari triliunan manusia biasa yang ketika seseorang menganggap aku bisa berbuat lebih, rasanya luar biasa.

Aku berlari dengan riang meninggalkan labor komputer. Pelajaran TIK kelasku berlangsung di jam terakhir, jadi saat aku berjalan di koridor kelas, kelas-kelas sudah sepi.

"bukan... Coba pakai cara eliminasi. Kalau persamaannya sederhana lebih mudah dengan substitusi. Yang persamaan pertama dikali dua, dan x bisa langsung kita eliminasi..." suara itu terdengar begitu familiar.

Syamsul Rizal.
Cowok yang bisa dibilang paling pintar di sekolah. Katanya (yang 'nya' tersebut tidak tau mengacu pada siapa) sewaktu smp ia sering memenangkan perlombaan bidang science. Tak heran olimpiade nanti aksinya sangat diharapkan.

Saat kelas sudah berakhir terlihat ia dan seorang teman sekelasnya sedang belajar di pojok kelas, kalau tidak salah namanya Roni. Aku tersenyum saat Syamsul terpaksa berulang kali mengajari Roni. Tak banyak anak pintar yang sabar mengajari orang lain. Dalam pikiranku selalu terdengar kalimat, "masa' ini aja gak ngerti sih?"
Selamat belajar, kawan.

Kemudian aku berlari meninggalkan mereka. Lebih baik aku tidak memperlihatkan wajahku yang sedang menahan tawa geli. Tidak sopan menertawai orang yang sedang berusaha. Setidaknya aku paham perasaan itu.

***

Aku berhasil gagal paham mengenai "olimpiade komputer". Yang kuhadapi di kelas hanya seputar sejarah komputer, microsoft office, dan terakhir software desain yaitu photoshop dan corel draw. Sementara dihadapanku ini adalah tumpukan paper yang dipenuhi soal teka-teki essay, deretan angka ajaib, tebak-tebakan gambar, dan yang terakhir kurasa ini yang disebut bahasa program: campuran bahasa inggris sederhana dan aljabar.

*contoh soal*

Lalu... *contoh soal*

Ok... Sepertinya aku cuma bisa sampai sini. Besok akan kucoba membahasnya dengan reza. Atau... Dengan Syamsul?! Ini bisa jadi alasanku untuk....

Tidak... Tidak.... Melihatnya dari radius dua meter saja sudah membuat jantungku berdetak dalam kecepatan 10 beat/second. Seperti namanya yang berarti "matahari", terlalu dekat dengannya bisa membuat sayapku meleleh kemudian aku akan terjatuh ke dasar bumi.

Lalu aku merapikannya dan langsung memasukkannya ke dalam tas agar tidak lupa.

Aku melirik ke jam dinding, jam 2. Semoga tidak tidur terlalu nyenyak.

***

"Huwaaaaaa..... Kenapa gak di bangunin?"
"udah puluhan kali. Mentang-mentang lagi gak shalat nempel banget di kasur. Lalu sekalipun sudah turun dari kasur malah tidur lagi di lantai." jawab adikku tega. Setidaknya dia sudah membantu mengisikan bekalku.
Dan berkat itu aku terpaksa berlari dengan tekad dan doa yang khusuk.

Ya Allah, kumohon... Jangan biarkan hambamu ini terlambat.

Saat di belokan terakhir kakiku terhenti karena aku bisa melihat Syamsul di seberang jalan. Kami berjalan lurus, aku mencoba mengimbangi langkahnya.

Sepertinya ia tidak menyadari keberadaanku. Saat kusadari senyum melebar di wajahku, aku malah kebingungan. Sapa... Nggak... Sapa... Nggak... Sapa...
Mungkin karena kelamaan mikir, aku sudah bisa melihat pintu gerbang sekolah dan sebaliknya aku tidak melihat lagi Syamsul di seberang jalan.

Sudahlah.... Sekalipun aku sapa, mungkin dia tidak tau denganku. Kita tidak pernah sekelas, berbicara pun tidak pernah.

***

"Reza... Sibuk gak? In mau minta tolong soal osn TIK, banyak yang In gak paham" aku mengejar Reza saat ia meninggalkan kelas pada jam istirahat. Aku memperlihatkan paper yang halaman pertama saja sudah dipenuhi lingkaran dan tanda tanya.
"Kita bahas di perpus aja yuk..." katanya sambil mengisyaratkan ia dan teman-temannya juga akan belajar bersama di perpustakaan.

Huwaaa... Berasa berjalan bersama orang-orang jago matematika. Obrolan mereka berikutnya aku tidak paham: probabilitas dan statistika. Aku tau bahasanya masih dalam bahasa Indonesia tapi otak kananku menolak untuk memahami pembahasan mereka. Di samping kita memang belum mempelajari mereka di kelas.

"Tarik saja mejanya ke sini," sambil duduk di salah satu bangku Reza berteriak pelan kepada salah seorang temannya.
Kemudian aku duduk di sebelahnya.
"Aku juga belum pernah baca soal osn TIK, jadi kubantu sebisaku saja ya. Belum ketemu teman yang sama-sama ambil osn TIK?" tanya reza.
Aku menggelengkan kepala. Lalu kuserahkan nyawa paper-ku padanya. "Silahkan jawab sebanyak mungkin, Bos"

"Hahahaha... Hei... Yang ini mudah kok. Ini kan deret. Bukannya baru belajar minggu lalu."

"Gubrak... Ok. In coba jawab dulu. Berarti yang ini juga deret ya?!" Lalu aku menarik kertas darinya dan mulai berhitung. Reza pun membuka paper soal2 osn matematika.

"kalau yang ini bagaimana?" kemudian aku menyodorkan soal yang plus minusnya gak karuan.

Kerut kening mulai terlihat di dahi Reza. "uhm... Eh bukan... Ng... Ada yang bisa bantu?" tanya Reza pada yang lain.

Kemudian kertas pun bergilir sampai akhirnya kertas kembali ke tanganku. Mereka mengangkat tangan, "Anggap aja salah soal. Heheehe..."

Masih penasaran, aku mencoba menghitungnya sekali lagi. Kemudian putus asa, tanpa kusadari aku menggaruk kepala sambil mengomel "huwaaa... Aku nyerah..."
"kelipatan perkaliannya juga kelipatan minus... Coba diperiksa lagi" tiba-tiba sebuah suara muncul dari balik kepalaku.
Akhirnya dewa pun menjawab pertanyaanku, aku membatin bodoh.
Seolah meralat jawabanku, detik berikutnya aku melihat Syamsul bergabung dengan teman-teman di seberang meja.
Menyerah karena aku tak bertemu pandang dengannya, aku kembali mencurahkan segenap cintaku yang baru saja ter-charge ke soal yang satu ini. Dan... Bingo...! Terlihat cukup mudah.

"Yey... Ketemu...!" sorakku sambil memperlihatkan jawaban ke Reza, "Syamsul, makasih ya...!" aku berteriak ke seberang meja tempatnya.
Dia balas dengan anggukan sederhana.

Hari ini aku membuat sejarah: pertama kalinya berinteraksi dengan Syamsul.

***

Comments

Popular posts from this blog

Teorema Thevenin Norton

Kaomoji - Japanese emoticons - Ekpresi Lucu dengan huruf :D

"Te wo Tsunagou" Lyrics OST Doraemon Movie: Nobita and the Green Giant Legend