Indy : akhir & awal (1)

"Gimana, In?" seseorang menepuk pundakku saat aku keluar dari ruang konsultasi. Vina, teman satu kelas bimbelku. Kita punya cita-cita kuliah bareng di ITB.
Aku menggelengkan kepala. Lelah.
"Terlalu beresiko. Poin rata-rata In masih terlalu jauh supaya bisa lulus." Aku melirik kertas grafik ujian try out-ku. Nilai paling bagus di posisi minus 54.
"Masih ada waktu kok. Yuk makan. dah laper. Kayaknya bisa makan porsi tukang nih..."

Yah... Masih ada waktu....

***

Namaku Anindya Atmariani. Akrab dipanggil In atau Indy. Umur 16 tahun. Butuh tiga bulan lagi untuk bisa ngurus KTP. Kecil? Yupz, orang tuaku memasukkanku ke SD swasta agar bisa masuk sekolah lebih awal. Alasan orang tuaku sederhana, kalau anak sudah bisa belajar kenapa harus menunggu umur 7 tahun dulu baru bisa masuk sekolah.
Dan kenapa aku ngebet banget masuk ITB? Pertama, kampus bergengsi. Siapa sih yang gak mau masuk ITB? Kedua, entah kesambet setan mana, aku jadi gila-gilaan masuk teknik elektro. Ketiga, oh... Ok, ini dia alasannya, cowok yang kutaksir mendapat surat undangan masuk ITB berkat 'aksi'nya di Olimpiade Science tahun lalu. Sementara aku? Tentu saja tidak... Aku hanya anak biasa-biasa saja dengan kemampuan biasa-biasa saja dan tampang pun juga biasa-biasa saja.

Aku melirik segerombolan cewek yang berjalan menuju kafetaria, namun terhenti karena mereka sekarang tengah asyik di depan kaca mobil yang terparkir disana.

 Dasar cewek...

***

"Kenapa gak masuk kedokteran aja? Poinmu cukup, kan?" pertanyaan Afi memecahkan perhatianku.
"Aku bukan beo. Mentang-mentang sebagian besar teman-teman sekelas memutuskan masuk kedoteran, lalu ikutan kesana juga."
"Dia masih ngejar-ngejar si Syamsul," sodok Vina, "biarkanlah cinta membawanya pergi"
"Ngaco...."

"Da, soto dagiangnyo ciek," kemudian Afi berbalik bertanya, "kalian apa?"
"In soto juga. Vina porsi tukang sambal ayam, kayak biasa"
"Gak... Gak... Aku soto. Mana sanggup aku ngabisin porsi tukang."

Aku melirik Vina. Mukanya memerah karena tak jauh dari posisi kita berdiri ada beberapa orang teman cowok yang tertawa terbahak-bahak. Memangnya mereka gak pernah lihat cewek berbadan kecil makan banyak?

"Lotek ciek lai, Da, " timpalku. Aku yakin Vina gak bakal kenyang hanya seporsi soto. Kemudian aku menarik lengan Vina menyusul Afi ke salah satu meja yang kosong.

"Alasan paling logis, biaya kedokteran mahal. Sekali praktikum bisa sampai jutaan. Bukannya orang tua In gak bisa membiayai, hanya saja In gak mau membebani. Yang sekolah bukan cuma In, kakak In masih belum lulus, masih ngurus skripsinya. Mudah-mudahan sebelum In masuk kuliah, kakak udah sidang. Belum lagi adek In yang paling kecil juga baru masuk SD. Lapangan pekerjaan teknik juga banyak." jelasku.
"Yang terbayang olehku, teknik, buruh, di lapangan, banyak cowok, kucel" kata Afi.
"Nggak juga. ada posisi desainer, drafter, aku juga tidak terlalu paham," sambung Vina.

"Justru In gak paham ma Vina. Masuk ITB malah ambil ilmu pasti. Bukannya UPI lebih baik, bisa sambung ke keguruan, " sahutku
"Ck... ck... ck.... ITB itu bukan punyanya anak teknik, Nak, " Vina menepuk-nepuk pundakku dengan lagak orang tua, "Disana dirimu akan menemui fakultas ilmu pasti, seni, bahkan farmasi."
"Intinya semua ilmu itu baik, sobat...." suara Zhifa tiba-tiba muncul dari balik punggungku.
"Ho... sudah selesai konsultasi, Zhif?" tanya Afi.
"Yupz, mereka menyarankanku untuk masuk ke ekonomi akutansi." jawab Zhifa menarik kursi lalu mengambil pisang di atas meja.

"Satu lagi keajaiban saat memilih kuliah: anak ipa ambil ujian ips. kasihan anak ips tuh karena mereka gak bisa ambil jurusan ipa sementara lahan mereka juga dibabat ma anak ipa"

"Nah... kalau begitu.... coba kau pikirkan sekali lagi, sobat. Teknik itu punya anak cowok. kalau lahan mereka kau ambil, bisa-bisa dirimu jadi lebih macho dari mereka... " sahut Zhifa ikut-ikutan menepuk pundakku
"Tak kan bisa, sobat... cintanya sudah mutlak untuk Syamsurizal Chaniago" Afi ikut menimpal.
"Huwaaaaaaaaaaa.......... jangan sebut-sebut nama itu. In bisa diburu penggemarnya." tiba-tiba adegan cewek-cewek ngerebutin cowok yang bukan siapa-siapa mereka muncul di benakku. salah satu alasan kenapa aku tidak suka sinetron.


 ***

Comments

Popular posts from this blog

Teorema Thevenin Norton

Kaomoji - Japanese emoticons - Ekpresi Lucu dengan huruf :D

"Te wo Tsunagou" Lyrics OST Doraemon Movie: Nobita and the Green Giant Legend